“Apakah engkau mendengar sesuatu?”
Rudi berhenti membaca, menggelengkan kepala dan menatap mata sahabatnya.
“Apa yang kau dengar?”tanyanya.
“Sungguh, engkau tak tahu?”
Kali ini Rudi menganggukkan kepala. Dikerutkan keningnya dan matanya menyempit.
“Tentu. Aku begitu konsentrasi membaca sehingga aku tak memperhatikan keadaan sekitarku.”
“Bukankah lusa akan ada ujian Semantics. Aku harus belajar sungguh-sungguh. Aku harus mendapat nilai A.” jawab Rudi mantap demi meyakinkan sahabatnya.
“Baiklah. Lanjutkan saja aktivitasmu membaca dan membaca. Hanya membaca buku tanpa membaca apa yang tengah terjadi pada bangsa ini.”
Abu meninggalkan Rudi yang kembali asyik membaca buku kuliah. Abu berhenti di bawah pohon rindang. Menarik nafas dalam. Keringatnya bercucuran. Pontianak kota yang sangat panas. Ia mengambil selembar kertas dan menjadikannya sebagai kipas angin manual. Udara di bawah pohon begitu sejuk. Angin semilir. Sesaat ia melanjutkan perjalanannya. Ia membelokkan langkahnya menuju kerumunan mahasiswi yang tengah bercakap di taman kampus.
“Bolehkah aku bergabung?” Abu menawarkan diri.
“Oh, tentu saja.” Ucap salah satu diantara mereka.
Abu terlibat perbincangan hangat dengan para mahasiswi.
“Apakah kalian mendengar sesuatu?” tanyanya
Semua pandangan mengarah padanya. Pandangan penuh tanya.
“Tentu aku mendengar ucapanmu.” Celetuk Susi.
“Bukan ucapanku tentunya. Tapi, apakah kalian mendengar sesuatu yang sangat penting dan patut kita diskusikan?”
Semua menggelengkan kepala.
“Baiklah. Lanjutkanlah percakapan kalian mengenai ini dan itu. Tanpa ada esensi yang dapat kalian peroleh. Kecuali kesenangan sesaat untuk mengisi waktu luang kalian.”
Abu pun berlalu meninggalkan kerumunan para mahasiswa. Ia menuntun kakinya melangkah. Ia kembali terduduk di bawah pohon rindang. Menatap daun-daun yang berguguran. Dan menerawang celah dedaunanIa melihat jam tangannya. Setengah jam lagi ia masuk kuliah. Ia mengecek kembali tasnya. Dua buah buku bacaan umum, sebuah blinder buku dan DHK didalamnya, serta kotak pensil berisi perlengkapan menulis. Ia menuju ruang 17. Memilih tempat duduk paling depan. Sambil menunggu sang Dosen, ia berbincang dengan teman bangku sebelah.
Suara gemuruh saat dosen masuk. Sesaat senyap.
“Kalian sudah semester akhir sekarang. Sudah seharusnya untuk fokus dengan kuliah. Tidak perlu lagi sibuk mengurus sesuatu yang tidak bermanfaat.”
Abu mengacungkan tangan.
“Apakah sesuatu yang tidak bermanfaat itu, Bu?”
“Kalian terlalu asyik berorganisasi, mengadakan kegiatan ini dan itu, meninggalkan kuliah, pergi keluar kota, ikut demo dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal itulah yang membuat kalian lama di kampus. Menjadi penghuni setia kampus”
“Bagus lama di kampus. Dari pada lulus jadi sarjana bingung” celetuk seorang mahasiswa yang duduk paling belakang.
Abu merenung. Dari belakang, samping kanan dan kiri terdengar suara
“Benar memang. A gak selese kuliahnya, gara-gara ikut organisasi. B juga lama dikampus karena terlalu sibuk diorganisasi.”
“Tunggu. Bukankah C juga bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu walaupun sangat sibuk dengan kegiatan organisasinya.”
Dalam hatinya Abu berkata
“Pak D kuliah selama lima tahun, selama kuliah Pak D adalah seorang aktivis kampus. Aktif di kampus dan juga OKP (organisasi kepemudaan). Dia menjadi Dosen idola karena kemampuan verbalnya dalam menyampaikan materi yang sangat mudah di terima. Juga waktu kuliah bersamanya sangatlah menyenangkan. Pak B hanya membutuhkan waktu tiga tahun setengah untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia sangat fokus dengan kuliahnya, sehingga bisa cepat selesai. Di kampus Pak B menjadi dosen “dewa ngantuk”. Karena disetiap mata kuliah yang ia pegang, para mahasiswa dibuat ngantuk. Tapi berbicara mengenai teori Pak B lebih tinggi dari pak D.”
Kelas berakhir. Abu, seperti para mahasiswa lain menghambur mengambil DHK diatas meja dosen.
Abu kembali ke bawah pohon rindang. Seseorang duduk sambil membaca. Sesekali menuliskan sesuatu yang dibacanya.
“Udara di sini begitu sejuk. Aku paling senang duduk disini seusai kuliah dijam terakhir. Pontianak yang panas akan cair oleh udara di bawah pohon ini.”
“Engkau benar. Khatulistiwa membara akan terobati oleh rindangnya pohon-pohon. Sayangnya, hutan kita telah habis terbakar. Tinggallah puing dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikannya menjadi pohon rindang.”
Abu manggut-manggut.
“Aku setuju denganmu. Semua belum terlanjur bukan. Masih ada kita, generasi penerus yang akan memperjuangkan berjuta pohon rindang itu.” Abu menimpali ucapan seorang yang baru dikenalnya.
“Budi.” Seseorang itu mengulurkan tangannya dan mengajaknya berkenalan.
“Abu.” Abu menyambut uluran tangan Budi dan menyebutkan namanya.
“Baru selese kul?”
“Ia. Semester 7. Anda?” jawab Abu.
“Semester 3.”
“Apakah engkau mendengar sesuatu?” Tanya Abu kemudian.
“Tentu saja, aku mendengar banyak hal.”
“Apa itu?”
“Di kampus?”
Abu menganggukan kepalanya. Budi mulai cas cis cus memberikan argumennya mengenai yang ia dengar selama dikampus.
“Apakah engkau hanya mendengar.”
“Tentu tidak. Aku melihat, mengamati dan membacanya. Aku tidak suka dengan isu murahan yang di buat oleh warga kampus untuk membuat suasana menjadi panas atau perang dingin. Aku mencoba untuk menganalisa bersama teman-teman aku dan mencari barang bukti untuk memperkuat analisa kami. Bukan analisa buta yang akan mudah terpatahkan.”
“Bagaimana dengan Pemirama Untan.”
“Pilihlah orang yang memang mampu mengemban amanah dengan benar. Meskipun ia meminta kepemimpinan itu.”
“Ada beberapa diskusi yang membahas mengenai kepemimpinan. Dengan latar yang berbeda, karena yang mengadakan diskusi juga berbeda. Sesuai dengan tingkat kepentingan.”
“Sesuatu akan menjadi benar itu kondisional. Kebenaran yang relative. Versi kepemimpinan pasti berbeda.”
“Apakah semua kebenaran bersifat relative?”
“Tidak. Kebenaran adanya Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Muhammad sebagai Rasul Allah adalah kebenaran mutlak.”
“Demikian juga Yesus sebagai Tuhan umat kristiani dan umat Hindu dan Budha yang menyembah Dewa.”
“Ya. Seperti yang kau katakan. Ciri pemimpin yang baik akan berbeda antara satu golongan dengan yang lainnya. Tapi esensinya tetap sama. Yaitu orang yang mampu melaksanakan dan bertanggungjawab dengan amanah yang diembannya.”
“Ada banyak buku yang mengulas mengenai kepemimpinan…”
“Kita harus mampu untuk mengambil kesimpulannya. Bukan serta merta mengikut apa yang ada dalam buku. Ingatlah penulis juga manusia, kita harus bisa memberikan karya pemikiran kita juga. Dengan menjadi diri sendiri.”
“Menjadi trendsetter. Bukan follower. He…he…”
Sinar surya tajam menembus celah dedaunan. Angin terus berhembus menyambut tawa lepas mereka. Abu dan Budi menatap ke atas, menerawang ke langit.
“Mungkinkah mereka yang duduk di bangku kepemimpinan memiliki sikap amanah? Bagaimana menurutmu?”
“Belum tentu. Tapi kita juga gak boleh berprasangka kalau mereka gak amanah.”
“Mereka bisa duduk di kursi itu, karena mereka berhasil meraup suara terbanyak. Dengan berbagai macam strategi yang lebih kita kenal dengan kata “politik”.” Papar Budi panjang dan lebar.
“Aku sangat tertarik dengan argumenmu. Jadi penerapan demokrasi belum benar. Semua masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya. Pastinya engkau juga tahu, banyak yang tidak sepakat dengan demokrasi ini. Karena dalam beberapa hal sangat merugikan. Sebagai contoh, orang yang tidak memiliki kapasitas memimpin justru bisa terpilih sebagai pemimpin hanya karena suara terbanyak dan strategi yang matang yang dirumuskan oleh orang yang mensukseskannya.”
“Segala sesuatu pasti ada yang pro dan kontra. Sudah biasa terjadi. Menurut aku, kalau memang tidak sepakat dengan demokrasi ini, tidak usah terlibat di dalamnya. Tapi membentuk system baru yang suatu saat akan meruntuhkan system yang menurutnya tidak tepat dan harus diganti.” Suara Budi terdengar meninggi.
Keduanya terdiam sesaat. Menunduk. Saling menatap satu sama lain.
“Aku harus pergi sekarang. Karena aku ada janji dengan seseorang. Sampai jumpa lagi.”
Budi berlalu meninggalkan Abu. Melambaikan tangannya. Hingga hanya terlihat punggungnya saja.
“Mengapa di saat akhir waktu kuliahku aku baru menyadari, betapa besar peran yang selama ini aku miliki dan sama sekali belum aku jalankan. Alangkah bodohnya aku. Jika waktu dapat kuputar, aku kan menjadi manusia yang berguna dan memperbaiki semua kesalahan ini.” Gumamnya dan berlalu meninggalkan pohon rindang yang tak henti menghembuskan semilir angin dan menanti kehadiran pohon-pohon rindang lainnya.
Surya menguning. Meninggalkan peraduannya. Perlahan tapi pasti. Menyongsong malam yang kan menyelimuti bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar