Rabu, Desember 3

Sebuah rumah


Pagi nan cerah terbalut hangat sang mentari. Udara segar menyeruak. Ku hirup dalam, menyegarkan kembali paru-paruku yang melemah. Indah pagi ku sambut dengan senyum. Menyongsong hari penuh asa dan mimpi.
Aku berlari kecil, terus berlari hingga melewati gerbang itu. Aku terengah. Aku merasakan desiran hangat didadaku. Namun, aku terus berlari. Melewati jejeran rumah disepanjang jalan nan becek ini.
“Mari, Bu!” sesekali aku menyapa orang yang aku temui dengan senyum teramah yang aku miliki. Butiran bening itu mengalir dari dari keningku. Panas. Gak ada kipas. Aku mengibas-ibaskan tanganku. Mengharapkan desiran angina. Walau sebenarnya tak sedikitpun hembusan angin menyapaku. Malah tanganku yang makin lelah saja.
Sepanjang jalan menuju pelabuhan. Mataku terpana oleh rumah-rumah di tepi jalan. Tak jarang. Sebuah rumah benar-benar membuatku tercengan. Airmataku menetes tanpa menunggu aba-aba dari bibirku.
Rumah itu hampir roboh. Telah membentuk sudut 45°. Berdinding dan berlantai papan yang menghitam karena tak pernah sekalipun dicat. Susunannya tak rapi lagi. Tumpang tindih. Selalu ada celah di antara papan-papan lantai dan dinding. Atapnya terbuat dari daun nipah. Warnya merapuh. Warna coklat yang sangat tua.
Tak bisa dibedakan ruang tamu, kamar, dan dapur. Ada dua buah ruangan yang dipisah oleh papan. Keduanya adalah kamar. Ruangan pertama hanya di tutup oleh lima buah papan. Dari luar saja kita bisa melihat isi didalamnya. Sebuah jas hitam yang tergantung di dinding dengan hanger dan juga tumpukan bantal. Ruangan kedua tak jauh beda. Hanya saja jumlah papan yang sangat terbatas sehingga selebihnya di tutup dengan lemari. Ruangan ini rapat. Selebihnya adalah ruangan yang cukup luas. Ada tempat untuk memasak dengan tungku dan juga ruang tamu. Terlihat tumpukan kayu kering siap pakai di samping tungku dan juga sebuah ketel untuk memasak nasi. Api menyala-nyala. Membakar ketel diatas tungku. Aku masih belum yakin dengan ruang tamu. Karena jika ada tamu langsung ke pintu dapur. Tidak ada pintu selain itu. Hanya sebuah jendela.
Semua dinding luar rumah juga terpasang jarang-jarang-sedikit rapat dari kamar yang kusebut tadi. Sebuah tali jemuran berdiri tepat di samping kiri pintu dapur. Rumah ini berdiri diatas rawa. Seperti banyak rumah yang lain.
Sumi adalah nama pemilik rumah itu. Pagi ini ia duduk di jendela. Di pangkuannya seorang anak laki-laki kecil. Sumi memanjakan anak berumur lima tahun itu. Sedangkan Sumi sendiri sekitar 45 tahun.
Sumi mengalihkan pandangan ke arahku. Tersenyum lebar saat aku menyapanya.
“Mampir, Dek” tawarnya padaku.
“Iya, Bu. Makasih” aku membalas senyumnya. Sambil berlalu meninggalkannya.
Aku melanjutkan perjalananku. Memang tidak hanya rumah Sumi saja yang kondisinya tak layak lagi.
Mataku menatap tajam. Sebuah gedung bertingkat berdiri kokoh di tengah-tengah banyak rumah reot itu. Gedung itu berwarna terang. Tingkat empat dan tertutup rapat. Hanya celah-celah kecil yang sengaja di buat. Kakiku terhenti melangkah. Memacu rasa ingin tahuku.
Di depan sana persis depan pelabuhan juga berdiri bangunan kokoh dengan toko-toko dibawahnya. Tas-tas tersusun rapi, baju dengan beragam model, dan juga sembako. Semua terlihat rapi.
Aku memperlambat langkahku. Membiarkan mataku menatap liar. Dan sejuta pertanyaan tanpa jawaban di otakku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar