Sabtu, November 29

Maya

Mataku terus memandang lautan lepas. Pohon-pohon rindang berjejer rapi. Membentuk kumpulan pulau-pulau kecil ditengah laut. Senja menyongsong. Mega merah muncul dari barat. Perairan menguning terkena pancarannya hingga terlihat seperti permata. Ditambah riak ombak kecil dan Lumba-Lumba yang sesekali muncul dipermukaan. Silih berganti.
Sebuah motor air berada diujung tepi dermaga. Klotok, demikian namanya. Beberapa penumpang hilir mudik membawa barang bawaan. Semua terlihat sibuk. Beberapa lagi berdiri/bersandar dipagar dermaga. Percakapan akrab diantara mereka dan seorang pria yang menatap kosong lautan lepas.
Angin sore semilir membawa jilbabku menari-nari. Aku duduk disebuah bangku panjang samping tempat penjualan tiket. Airmataku menggenang di sudut mata. Beberapa mata melirik ke arahku, memperhatikanku. Terbersit rasa malu di hatiku.
Segera kuambil buku harianku dari dalam tas dan membiarkan tanganku menuntun pensil diatas kertas putih ini.

Aku harus menerima perih dihati. Rasa rindu yang pastikan mendera jiwa. Hatiku sedih meninggalkan Maya. Tapi aku tak mungkin hidup disini. Karena aku tak memiliki siapa. Orang-orang yang baru kukenal dan bersedia menjadi keluarga. Jua cinta. Cinta yang aku pun tak tau. Dapatkah aku memilikinya??Karena aku tak pernah menanyakan semuanya. Perasaan diantara kita. Persahabatan atau lebih dari itu. Getar di hati yang berbeda. Bagaimana?? Bagaimana aku bisa yakin atau justru sebaliknya-meragu??? Tak ada jawaban atas semua pertanyaan ini. Karena bibir selalu terkunci. Menyimpan seribu rahasia.

Mataku kembali menatap lautan luas tak bertepi dan hamparan air biru yang menyelimuti. Tatapan penuh makna. Harapan yang tinggi dan cinta yang menggantung. Apakah semua ini hanya akan menjadi kenangan terindah yang tak kan pernah kumiliki lagi dalam hidup ini? Akankah semua kan menjadi cerita usangku dinegeri seberang?
Seakan sebuah film yang kembali berputar dan terus berputar. Membuka seluruh file dalam otakku.
###
Pukul 02.30 siang itu. Bersama para sahabatku. Udara panas walau sang surya bagai tersembunyi dibalik peraduannya. Langit terbalut awan hitam. Wajah pucat dan tubuh yang terbasuh keringat.
Aku menyapa seorang laki-laki bertopi yang sedang menancapkan bendera sebuah partai besar. Yaah…aku termasuk tipe orang baru yang selalu ingin tahu atas segala sesuatu.
“Mau ada kegiatan apa pak?” sapaku.
“Ada pertemuan.” Jawabnya singkat.
“Kapan? Boleh ikutan gak?” aku kembali menyerbunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di otakku.
Ia hanya tersenyum. Dan membiarkan pertanyaanku menggantung tanpa jawaban. Aku pun berlalu menyusul para sahabatku.
Keesokan harinya seusai shalat Ashar di masjid dekat aku tinggal. Aku menghampiri seorang perempuan penjual minuman. Aku memesan segelas es cendol.
“Udah lama jualan minumannya, kak?” aku membuka percakapan.
“Belum. Baru tiga bulan.” Jawabnya sambil membuatkan segelas cendol yang kupesan. Ia terlihat terampil dengan pekerjaannya. Nik, nama panggilannya. Ia seusia denganku. Berkulit sawo matang dengan rambut panjang bergelombang terikat rapi dibalik punggungnya. Memakai kaus pendek dan celana jeans seolah menjadi kostum khususnya saat berjualan. Seperti sore itu saat aku menjumpainya.
Maghrib itu. Gerimis menyongsong, langit menghitam di sambut kilat yang tak henti menyambar. Disebuah rumah di pulau Maya. Gelap. Karena listrik padam. Ruangan itu sangat luas. Ruangan ini dikelilingi oleh kaca yang tertutup korden putih. Selaras dengan warna cat. Dua buah pintu memisahkan kamar tidur dan ruangan ini. Remang cahaya lilin menerangi. Di salah satu sofa ruang tamu aku duduk. Sebuah bunga menghiasai meja. Nik keluar membawakan secangkir teh untukku. Ia duduk disampingku.
Seorang pemuda bertopi datang. Ia duduk persis didepan kursi aku duduk. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Karena ruangan yang tak terang. Hanya suara tegas yang ku dengar saat ia berbicara.
Ia memperkenalkan namanya padaku. Ryan. Sebuah nama yang bagus. Pertemuan yang sangat singkat. Karena tak lama ia langsung pamit.
“Aku pulang dulu ya… udah maghrib. Oh iya, lain kali maenlah ke rumah. Dekat kok dari sini.” Katanya sambil berlalu meninggalkanku.
“Insyaallah.” Jawabku.
Adzan maghrib berkumandang. Aku minta diri pada Nik untuk segera pulang. Gerimis semakin deras. Aku menyalakan mesin motor dan menerobos gerimis yang kini telah menjadi hujan.
Saat pagi aku melintas di tempat biasa Ryan bekerja. Dengan topi dan baju kaos, sebuah kelapa tua yang akan dikupas ia memanggilku. Aku menoleh kearahnya. Ia tersenyum ramah.
“Ani mampir!!” serunya.
Aku mendekat. Ia memperkenalkanku dengan temannya.
“Rudy” Ia memperkenalkan diri. Kami berajabatan tangan.
“Mau kelapa muda gak?” tawar Ryan padaku. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
“Mau berapa, An” Tanya Ryan sambil memanjat pohon.
“Lima aja. Sekalian buat teman-teman.”
Buggg…. Lima buah kelapa muda jatuh persatu di tanah. Aku mengambilnya di bantu Rudi. Mereka mengupasnya persatu. Hingga semua kapasnya terkupas bersih. Ryan membelah satu buah kelapa.
“Wah… gak ada gelas nih…” celetuk Rudy.
“Aku bisa kok.” Ryan memberikannya padaku. Aku meminum tanpa menggunakan gelas. Ryan mengantarku pulang dengan membawa empat buah kelapa yang terkupas.
“Nanti malam ada kegiatan gak” Tanyanya.
“Setelah maghrib gak ada tuh. Memang kenapa?”
“Aku mau kerumah Rudy. Kamu mau ikut sekalian nemenin aku.’
“Ehm…”
“Mau apa ndak? Kok mikirnya lama benar”
“ OK. Kamu jemput aku dirumah.”
“Ok dech.”
Kami tiba didepan rumah. Ia mengingatkan aku lagi sebelum pergi meninggalkan aku.
Seusai shalat maghrib, ada sebuah sms masuk. Sebuah pesan singkat dari Ryan.
Udah siap blm
Aku segera membalasnya.
Blm. Baru selesai shalat. 15 menit lg km jemput aku ok.
Ku tekan tombol send.
Seperti janjiku, Ryan datang tepat waktu. Aku juga sudah siap. Tanpa mematikan mesin Ryan memacu gas. 10 menit kemudian, kami sudah dirumah Rudy. Aku, Ryan dan Rudy duduk di teras rumah yang berukuran 2x2 meter. Berlantai keramik.
“Kapan pertama kita ketemu ya An” Tanya Ryan.
“Dirumah kak Lilis. Waktu magrib dan hujan deras banget. Masa kamu lupa sih Yan”
“Benar. Kamu atau aku yang lupa? Coba diingat lagi.” Aku mencoba untuk mengingat setiap pertemuan diantara kami dan keputusanku tetap satu.
“Di rumah kak Lilis. Benar kan?” Ryan tertawa dan memandangku. Di ikuti oleh Rudy. Mereka terlihat kompak. Aku kikuk. Aku terus berusaha mengingatnya.
“Kok kalian malah ketawa. Apa jawaban aku salah?”
Rudy terkekeh dan masuk kedalam untuk mengambil air minum yang sudah dibuat oleh ibunya. Ryan masih tertawa. Kini ia terlihat menahan tawanya. Ia terus memegang perutnya.
“Hem.... kamu benar-benar lupa atau gak tau” aku menggeleng.
Ryan memegang kepalaku dan membelainya. Aku melepaskan tangannya. Kini ia memegang tanganku. Sangat erat namun begitu lembut. Rudy muncul dari balik pintu. Ryan segera melepas genggaman tangannya.
“Sudah ingat belum?” Tanya Rudy setelah meletakan nampan berisi tiga cangkir teh hangat. Aku menggeleng. Akhirnya Rudy menjelaskan. Dan aku tahu kini. Orang yang aku sapa siang itu yang sedang memasang bendera sebuah partai adalah Ryan. Malam semakin larut. Kami pamit untuk pulang.
Setiap pagi aku selalu kepasar untuk belanja sayur. Rumah Ryan yang berposisi di daerah pasar jadinya kami selalu bertemu. Terkadang aku melihatnya sedang membawa mobil pick upnya dan tak jarang pula ia menurunkan barang dari mobilnya.
Malam minggu ini, ia mengajakku ke rumah sahabatnya. Karena besok lusa aku harus pulang. Aku senang banget. Karena di rumah sahabatnya banyak terdapat bunga. Aku memilih salah satu dan meminta bibitnya. Ryan tersenyum setiap kali melihat aku terpesona dengan bunga-bunga dihalaman rumah. Aku akan menjadikan bunga ini sebagai kenangan persahabatanku dengan Ryan. Aku akan merawatnya agar persahabatan ini abadi.
Selepas dari rumah Nani, kami mampir kepelabuhan. Angin malam sangat dingin dan kuat. Kami duduk berhadapan di tepi dermaga. Kami asyik bercerita sambil menikmati suara deburan ombak. Ryan selalu memegang kepalaku saat aku tertawa dan bercerita kisah lucu dalam hidupku.
Akhirnya, ia memegang tanganku. Kini kami duduk berdekatan. Sangat dekat. Ia memelukku.
“Aku pasti akan merindukanmu.” Ucapnya.
Aku menunduk tanpa memberikan jawaban. Aku menatap matanya. Dalam remang cahaya dari pancaran lampu bangunan yang terletak dekat pelabuhan.
“Kenapa harus rindu?” aku tertawa dan melepaskan diri darinya. Ia menahanku.
“Ada sesuatu yang aku sembunyikan selama ini dari kamu”
“Aku janji, setahun lagi aku pasti akan mengatakannya.” Ia memelukku erat. Membiarkanku dalam kehangatannya.
###
Airmataku menetes deras. Dua puluh menit lagi motor yang aku tumpangi berangkat. Aku merasakan kehilangan yang amat sangat. Hatiku bagai teriris sembilu. Luka yang tak berperi.
Ku kirimkan sebuah puisi untuk Ryan.
Aku ingin menjd shbt yg selalu hadir saat semua m’jauh, saat semua tiada. Yg selalu ada dlm setiap duka n bahagia. Aku ingin menjd sahabat yg terbaik kuberikan utk semua. Ryan, waktuku tak kan pernah kembali namun semua kenangan indah akan abadi.
Lima belas menit berlalu. Tak ada balasan darinya untukku. Hatiku bertambah perih. Aku tertunduk siap menerima semua yang kan terjadi.
“Ayo berangkat. Mana barangnya?? Saya bawakan.” Seorang laki-laki berbadan tinggi dan besar membuyarkan lamunanku.
“Itu… tas saya” aku menjawab gugup dan menunjuk tas yang kumaksud. Ia langsung mengambilnya dan membawa menuju motor.
Aku membalikkan tubuhku ke arah jalan raya. Berharap akan hadirnya seseorang yang kunanti. Seseorang tersenyum padaku. Senyum yang telah mengisi hatiku. Dia… Ryan bersama Rudy.
“Mau kemana??” tanyaku basa basi.
“Aku akan mengantarmu pulang.” Jawab Ryan. Sedangkan Rudy tersenyum dibelakangnya meyakinkan.
“Mengantarku??” aku tergugup.
“Ia. Kenapa??”
“Ah… tidak. Tidak ada apa-apa.”
Kami langsung menuju motor bersama. Kami duduk dibangku bagian depan. Paling dekat dengan TV. Motor telah terisi penuh oleh penumpang. Bangku-bangku di tepi dan juga bagian tengah. Tapi aku merasa hanya ada kami di motor ini. Di motor, sambil tersenyum Ryan menunjukan sms yang aku kirim.
“Pasti ada maksud lain dari sms ini.”
Aku tersenyum malu dan menundukan pandanganku. Tak sepatah katapun keluar dari bibirku. Ryan memegang erat tanganku dan menatap tajam mataku.
Aku gak tau Ryan. Rasa itu muncul tiba-tiba. Rasa ingin memiliki dan takut kehilangan. Dan kini aku sadar, aku benar-benar sayang dan sangat mencintaimu. Ucapku dalam hati
Aku memejamkan mata memeluk erat lengannya dan menidurkan kepalaku dibahunya.
Aku tak mau kehilangan cinta yang telah aku miliki sekarang. Aku akan terus menjaganya. Menyemai ikatan cinta ini agar terus tumbuh dan bersemi. Walau jarak yang membentang diantara kami. Bukanlah penghalang yang berarti. Karena akan selalu ada cinta. Cinta yang tulus dan abadi.
Mesin motor terus menderu meninggalkan Maya. Membawa kenangan cintaku bersamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar