Aku selalu menghabiskan malam tahun baruku bersama keluarga. Melaksanakan shalat sunnah tasbih tepat pukul 00:00 disambung membaca surat Yasiin dan berdo’a memohon kebaikan.
Namun, malam ini aku merayakan malam tahun baru di sebuah bis menuju kota tempat aku menimba ilmu. Aku hanya membaca surat Yasiin satu kali dan mengucapkan sebuah permohonan. Tahun baru ini aku harus lebih baik. Dalam segala hal.
Gelap. Saat aku membaca ayat ketiga terakhir surat Yasiin. Bis akan segera kembali menempuh perjalanan. Aku melirik seseorang yang duduk di sampingku.
“Sepertinya boleh juga. Cahaya hapenya cukup terang” pikirku dalam hati.
Aku memberanikan diri memintanya untuk mengarahkan sinar hapenya pada Al-Qur’an. Tanpa basa-basi ia mengiyakan. Aku hanya membaca ayat ketiga sedangkan ayat dua terakhir aku sudah hapal jadi tidak terlalu sulit.
“Shalatnya gak pernah ditinggalkan?” tanyanya tiba-tiba.
“Insyaallah.” Jawabku santai.
Dia duduk disampingku sejak aku naik bis. Aku tidak tau seperti apa wajahnya. Apakah ia tampan atau biasa aja. Hanya sekilas saat aku baru masuk dan menanyakan nomor kursi 4D. Aku sengaja tidak memperhatikan wajahnya. Apakah ia sosok sempurna seorang laki-laki yang sering dibicarakan oleh sahabat-sahabatku di kampus atau….
Yah…hanya mendengarkan setiap perkataan yang mengalir. Aku tidak berani memperhatikannya terus menerus. Aku takut aku akan selalu teringat wajahnya dan memujinya sampai terbawa dalam tidurku dan merasuki mimpi malamku. Hingga akhirnya mengusik hatiku.
Mungkin kalau aku ketemu dia lagi aku gak bakal nyapa kalau dia gak nyapa aku. Aku benar-benar gak tau wajahnya kayak apa. Hanya kulit putih bersihnya yang masih ada dalam ingatanku.
Steven panggilannya. Seorang Konghuchu yang talkaktif. Sepanjang perjalanan kami menikmati malam tahun baru. Semua kota-kota yang kami lewati. Sekadau, Sanggau, Singkawang, Ngabang….
Jalanan sempat macet, di penuhi muda-mudi merayakan tahun baru. Mereka memilih menyambut tahun baru dengan pawai bersama, bernyanyi, nonton band, bikin api unggun, …. Suasana yang jarang aku temui pada hari-hari biasa.
“Hey…lihat!!!” ia membuka tirai jendela.
Percikan kembang api diangkasa. Ia bertaburan. Jauh disana bintang-bintang bersinar terang. Turut menyambut tahun baru. Dan cahaya rembulan yang keemasan.
“Steve malam tahun baru biasanya ngapain?” tanyaku kemudian.
“Kumpul-kumpul ama keluarga ato jalan sama teman-teman”
“ Ada gak ibadah khusus sebagai ritual penyambutan tahun baru?”
“Gak ada tuch. Kenapa?” Aku lalu menjelaskan kebiasaan keluargaku di setiap malam tahun baru. Baik tahun baru Masehi ataupun Hijriyah.
Udara AC begitu dingin. Untung aku membawa sweater putih yang selalu menemani perjalananku. Aku mengangkat kedua kakiku keatas kursi.
“Dingin ya?” Ia menyergah. Menyalipkan kedua tangannya di depan dada. Memalingkan wajahnya kearahku.
“Iya.” Kututup kedua kakiku dengan sweater. Aku melihatnya dalam gelap. “Eh…duduknya geser sikit lah. Nanti kamu jatuh. Masih luas kok.”
Ia memintaku untuk duduk mendekat. Setelah memperhatikan posisi dudukku yang sedari masuk menjaga jarak dengannya. Aku menolaknya.
“Memangnya kenapa? Lagian aku kan gak ngapa-ngapain kamu. Cuma duduk berdekatan. Aku juga kedinginan.”
“Ye… tapi aku kan gak mau. Ya gak mungkin lah aku jatuh. Toh kalau jatuh juga gak apa-apa. Gak curam kayak jurang. Cuma beberapa senti aja gak nyampe setengah meter apalagi semeter.” Jawabku dingin.
“Kenapa? Mang gak boleh? Ya… kalau tau kamu gak mau duduk deket aku mendingan aku duduk sama orang gemuk sekalian jadi aku gak kedinginan. Atau aku duduk sendirian. Tapi kalau aku duduk sendirian gak ada teman ngobrol.”
Ia mengoceh sendirian.
“Sebenarnya sebelum kamu masuk aku sempat mikir coba aku gak duduk sendirian supaya ada teman ngobrol. Kan gak bete. Tahunya waktu kamu masuk langsung nanya. Aku juga gak tau kalau nomor kursi ini 4D. Aku asal duduk aja, tadi kursinya kan kosong. Tapi aku jawab ia saat kamu tanya. Yaaah…daripada aku duduk sendirian. Eh sekarang kamu malah menjaga jarak. Aku tetep aja kedinginan. Bedanya aku punya teman ngobrol he…he….” Lanjutnya panjang lebar.
“Geser dunk… Aku gak bakal ngapa-ngapain kamu. Mau kan ?”
“Mau. Kalau kamu ayahku. Kalau kamu suamiku. Atau abangku. Atau adekku. Tapi kamu hanya sahabatku. Sahabat yang baru kukenal di malam tahun baru ini. Tidak lebih daripada itu. Malam ini kita masih bisa tertawa and ngobrol bareng tapi esok, lusa, dan waktu nanti, siapa tau. Akh…aku tidak suka berandai-andai. Aku seorang yang realistis.” Jawabku dalam hati.
Aku pun berkata “Aku sudah bilang aku gak mau. It’s OK kan .”
“Orang tuaku melarangku untuk melakukan hal itu. Aku orang jawa. Banyak hal yang harus aku patuhi dalam pergaulan. Terutama bergaul dengan laki-laki yang baru aku kenal. Kayak kamu.”
Aku menunjukan jari telunjukku kearahnya.
“Selain itu aku seorang muslim. Dalam agamaku juga ada aturan dalam bergaul. Gak boleh semau kita. Apalagi aturan yang memang harus dipatuhi. Mang dalam agamamu gak ada?’
“Gak ada tuh. Aku belum pernah dengar” Aku gak tau ia berkata jujur atau hanya pura-pura memancingku.
“Gak ada ato kamu belum pernah belajar?”
“Iya deh terserah kamu. Kalau gitu jelasin dunk. Peraturan seperti apa yang kamu maksud biar aku tau dan gak melanggar peraturan itu. He…he…”
“Serius ato ngeledek nich….”
“Serius. Ehm…sedikit ngeledek sih biar suasananya agak cair. Tapi bener kan sesama umat beragama harus saling menghormati. Toleransi gitu…”
“Jadi…jelasin dunk jangan buat penasaran.” Aku memalingkan pandangan keluar jendela.
Jalanan sepi kini. Disekeliling hutan. Pepohonan berbaris rapi seolah berlari mengejar bis yang terus melaju dengan kecepatan datar. Aku tidak tau sampai di mana tepatnya. Ku tarik nafas panjang sambil memperbaiki posisi dudukku. Kumajukan tubuhku kedepan.
“Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang berbunyi “dan janganlah mendekati zinnah. Dan…”
“Zinnah itu apa?” ia memotong pembicaraanku.
“Masuknya hasafah ke farji seorang wanita yang bukan haknya. Hasafah itu…” aku jadi sedikit malu untuk menjelaskannya. Namun, demi kebaikan dan biar ga ada su’udzan di antara kami akupun menjelaskan satu persatu.
“Hubungan suami isteri maksud kamu??Ya ampun Nuri, kok sampe segitunya sich…” Belum selesai ia ngomong aku segera memotongnya.
“Sst…kayaknya harus aku ulang. Aku tau kamu gak bakalan ngapa-ngapain aku. Tapi kamu masih ingat kan ? Dan janganlah mendekati zinnah. Itu artinya kita harus menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kita bisa melakukan hal itu?” Jelasku.
Ia menganggukan kepalanya perlahan. Semoga ia sudah sedikit paham.
“Jadi….walaupun kita duduk berdekatan itu sebaiknya gak usah karena khawatir akan menimbulkan zinnah. Gitu maksud kamu?” ia mengernyitkan dahinya dan memandangku penuh tanya.
“Ia. Tepat sekali.” “Ehm… aku tau sekarang mengapa banyak gadis berjilbab terutama mereka yang memakai jilbab lebar. Yang biasa teman-temanku memanggilnya Jilbaber selalu menjaga pergaulan dengan teman-temannya yang laki-laki. Kayak temanku yang satu kampus denganku. Siang itu ia pulang sendiri jalan kaki memasuki sebuah komplek yang sebenarnya satu komplek denganku. Tapi dia menolak saat aku tawari untuk duduk di belakang jok motorku. Ya menolak naik satu motor denganku. Hanya saja dia belum memberikan penjelasan padaku mengapa dia menolaknya. Kalau di fikir-fikir kan mending naik motor sama aku dari pada jalan sendirian dibawah terik sinar matahari yang menyala tajam. Tapi ternyata… ”
Kami terdiam. Menyelami samudera hati yang paling dalam. Mencoba untuk saling mengerti dan menerima perbedaan di antara kami.
“Ya udah kalo gitu. Makasih ya udah ngasih pemahaman sama aku. Paling tidak malam ini aku mendapatkan ilmu yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya.sebagai bekal dalam bergaul. Bergaul dengan orang seperti kamu. Hee…” Steve tersenyum tipis.
Mungkin senyumnya sangat indah. Seindah bintang-bintang yang bertaburan diangkasa malam ini.
“Ia. Thanks juga kamu udah ngertiin aku dan semoga yang kita diskusikan tadi ada manfaatnya buat kita. Sekarang dan juga nanti.” Aku membalas senyumnya.
“Tapi kita masih tetap bersahabat khan???”
“Insyaallah. Why not?????” Kami kembali terlarut dalam tawa.
Ia menyibakan tirai jendela. Di luar sana muda-mudi tertawa ria. Semua bahagia. Api unggun menyala membumbung ke angkasa. Melantunkan melodi cinta. Beberapa orang berseragam polisi berjaga. Terdengar suara sirene motor.
“Malam yang indah. Sampai dimana kita akan merajut persahabatan ini?” Tanyanya tiba-tiba.
“Sampai dimana engkau mau?” aku menjawab dengan sebuah pertanyaan.
“Sampai matahari tak bersinar. Dan hujan enggan turun ke bumi”
“Sungguh.”
“Really, I am serious. Trust me”
“Sejauh dunia tak berujung, sampai waktu tak lagi berdetak.” Tambahku.
Kamipun saling menukar nomor hape. Malam larut. Kami memejamkan mata. Menanti hari esok. Hari baru dengan berjuta bunga kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar