“Kak Ina ayo…, Opal mau ngaji.” Suara mungil itu memanggilku. Mendekat, menerobos pintu kamarku. Terdengar merengek. Ku buka pintu perlahan. Aku kini telah siap. Dengan jilbab coklat sebagai penutup kepala.
“Kak Ina mau kemana? Kok pake bajunya rapi?” tanyanya mencari tahu. Aku memegang pundaknya sembari menekuk lututku. Ku tatap lekat mata jernihnya. Bulu matanya yang lentik dan lebat. Hidungnya begitu mancung. Aku menyukainya. Wajah putihnya yang bersih.
Adikku telah siap untuk mengaji. Kopiah hijau dikepala dan kain sarung yang ia ikatkan dipinggang. Sama seperti teman-temanku dipondok dulu. Mereka selalu memakai sarung dan baju koko lengkap dengan kopiah saat mengaji dan shalat berjama’ah. Nuansa Islami yang sangat menyentuh.
“Mau ngaji bareng adek?”jawabku dengan senyum tipis. Walaupun hanya belajar bersama adik-adik dirumah aku selalu berusaha tetap rapi. Seperti saat aku berangkat kuliah.
Aku hanya belajar mengamalkan ilmu yang aku peroleh dari ibu Septi, penemu Jarimatika dalam sebuah seminar Juli lalu. Padahal dia hanyalah seorang ibu rumah tangga. Kesehariannya disibukkan untuk mengurus anak dan suami. Namun, ternyata ia berhasil menemukan cara berhitung mudah yang sangat bermanfaat. Jarimatika. Cara berhitung mudah matematika dengan menggunakan jari-jari tangan. Itu semua karena kegigihan dan kesungguhannya dalam mendidik sang buah hati.
Aku meraih tangannya dan mengajaknya ke Mushala. Sebuah ruangan berukuran 4x3 meter. Khusus untuk shalat dan mengaji. Diruangan itu aku mengambil sebuah Iqra’ di atas tumpukan buku dalam lemari. Deretan buku menghiasi isi lemari. Memikat setiap mata pecinta buku. Buku apa yang Anda cari? Insyaallah dapat Anda temukan di lemari ini. Disampingnya beberapa tas berderet. Ada empat buah semua berwarna pink. Hanya satu yang berwarna hitam. Dengan gambar spiderman. Sedangkan setumpuk sajadah ada di sudut ruang di temani tiga buah meja kecil. Tirai putih menutupi jendela. Ruangan itu lengkap dengan sebuah kipas angin yang tak pernah berhenti berputar saat kami shalat/mengaji dan lampu philip yang selalu siap menerangi. Kami memulai mengaji. Diawali dengan membaca do’a dan surat Al-Fatihah.
A’udzubillahi minasyaithonirrajiim...............
Bibirnya memulai melantunkan bacaan-bacaan indah penuh makna. Mendengarnya, mengingatkanku akan suasana pondok tempat aku menimba ilmu.
Aku rindu dengan suasana pondok. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Shalawat Nabi sahabat-sahabatku. Riuhnya suara santri yang sedang menghafal Al-Qur’an dan Hadits di sepertiga malam hingga fajar menjelang. Aku rindu. Rindu dengan shalat malam berjama’ah. Dadaku bagai terhantam sebuah benda yang sangat padat. Rasa sakit yang amat sangat. Membuatku tersiksa dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Desiran aliran darah dijantungku. Mengalir begitu hebatnya. Aku merasakannya. Benar-benar merasakannya. Bayangan wanita berkerudung putih berkelebat dibenakku. Wajah Omi sahabatku. Tempatku berbagi semua kepiluan dan kebahagiaan yang mendera.
Setiap tahun pondokku selalu dilanda banjir. Hujan deras selama berhari-hari. Suaranya yang terjatuh di atas atap seng tua bagaikan lantunan melodi yang mengalir indah. Menenangkan hati-hati yang terlelap. Yah....Atap itu telah usang. Warna kuning tua di balut noda-noda hitam di setiap sisinya.
Hujan itu. Ia enggan berhenti. Begitu cintakah ia dengan pondokku sampai-sampai tak mau berpisah. Rela bertahan selama berhari-hari. Akhirnya, air hujan meluap menggenang pondokku tercinta. Hanya tersisa beberapa centimeter saja. Seluruh santri putra terpaksa harus tinggal di lantai dua gedung baru yang belum kunjung selesai di bangun. Ia telah berdiri kokoh. Tapi aku tak tau kapan ia akan sempurna. Seperti gedung-gedung yang kulihat didepan pasar inpres. Gedung menjulang keangkasa. Tempat para pejabat bersembunyi menjalankan aktifitasnya. Apa yang mereka lakukan bukanlah urusanku.
Mungkin orang islam dikotaku miskin banget atau kikir banget. Atau dan atau… terserah aku gak tau terlalu banyak “atau” yang ada dibenakku. Saat senja setelah les Bahasa Arab dengan Ustadz Ali Mansyuran, bersama sahabatku Omi, aku terpaku menatap air banjir yang melimpah ruah seperti air bah. Ia telah berhasil menenggelamkan bunga-bunga ibu nyai ditaman. Ibu nyai itu panggilan untuk istri pimpinan pondok. Yang sering membangunkan kami di kala kami masih terlelap tidur.
Tapi tidak demikian denganku dan beberapa temanku satu angkatan. Kami sering bangun awal. Walaupun tidak setiap hari. Kami juga malu kalau harus dibangunkan setiap hari. Waktu kami hanya tinggal hitungan bulan. Masa-masa cemas mempersiapkan Ujian Nasional. Bagaimana mungkin kami bisa tidur nyenyak. Bayangan tidak lulus. Sungguh sangat memalukan. Apa kata orang kampung. Sekolah, tinggal di pondok yang setiap harinya di jejali berbagai macam ilmu gak lulus UN. Itulah komitmen kami. Walaupun keberhasilan tidak ditentukan oleh aspek kognitif saja. Tapi bukan berarti kami harus bermalas malasan. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum tanpa ia berusaha untuk merubahnya. Dan ucapan Ustadz Ali mansyuran yang ia peroleh dari Ustadz Sutardi. Seorang Ustadz baru lulusan UGM yang mengatakan bahwa orang Amerika apabila memiliki waktu setahun untuk menebang sebuah pohon maka ia akan mempersiapkannya setengah tahun sebelumnya. Jadi kami harus sungguh-sungguh.
Hujan itu masih berkejar-kejaran diudara terjatuh dan memedar. Percikannya mengena lembut diwajahku. Hamparan air tak berujung. Gelombang kecil berlarian. Berbaris beriringan. Menyapu rumah-rumah diujung jalan, kini hanya atap yang tersisa. Kayu-kayu itu bagai kapal di samudra luas. Melenggok dan terus meliuk berputar mengikuti arus.
Dua hari yang lalu, sebelum pasang para santri putra membuat jembatan yang menghubungkan sekolah dengan gedung berlantai dua. Bersama para ustadz. Lagi-lagi ustadz dipondokku masih perjaka semua. Mereka tertawa terbahak. Tidak dapat dibedakan antara ustadz dan santri. Membaur menjadi satu. Seakan bahagia dengan datangnya banjir. Berlari. Memikul kayu. Memasang satu persatu hingga sebuah jembatan idaman terwujud. Walau tidak semewah jembatan kapuas.
“Kak…” demikian ia memanggilku.
“Habis buat jembatan mereka mandi gak ya? Kan gak ada air. Di asrama putri airnya macet. Pasti diasrama putra juga.”ucapnya.
“ Ya... gak tau sih. Tapi kalau memang mereka gak mandi gak apa-apa. Toh sedari tadi mereka berkecimpung dengan air.” Jawabku ringan.
Mungkin mereka sehari sekali mandi. Atau jangan-jangan tidak mandi selama banjir. Hanya sesekali saja. Pemandangan yang sangat mengerikan. Karena biasanya kalau banjir air ledeng hidup segan matipun tak mau. Kalau ledeng ngalir yang menjadi prioritas adalah santri putri. Yang putra terpaksa mengungsi. Aku berdiri, kuajak sahabatku menuju asrama santri putri. Kilatan lantai di ujung pintu rumah ibu nyai. Begitu lengket. Bagai bertahun tak pernah digosok. Bukan karena jorok atau malas. Setiap hari santri putri mendapat giliran buat ngepel. Tapi berjuta kaki melewati, setiap detik waktu yang kami miliki. Keluar masuk asrama. Tidak hanya saat jam-jam sekolah tapi juga sehabis diniyah. Banjir. Begitulah. Hanya satu-satunya pintu alternative sebagai mobilitas para santri putri. Sekolah dan asrama.
Sekolah kami di pelupuk mata. 15 menit waktu istirahat bisa kami gunakan untuk berbaring atau shalat sunnah dhuha di kamar. Semula pak kyai mewajibkan seluruh santrinya untuk sembahyang dhuha tiap hari. Tapi namanya juga manusia. Dengan beragam kepala. Hanya berjalan dua minggu. Itu saja udah untung.
Kurebahkan tubuhku dilantai tanpa kasur. Dingin menembus hingga ke sum-sum tulangku. Dikamar ini aku bersama kedua temanku. Omi dan Fadhillah. Menghabiskan malam-malam kami menyantap buku-buku pelajaran dan diniyah. Di temani sebungkus indomie, hembusan angin malam yang berbisik di telinga kami menyapa penuh ramah dan senyum yang indah dan cahaya bulan yang menerobos melewati ventilasi. Kadang kami sengaja membuka pintu kamar walau dingin menyergap. Remang cahaya lampu kamar. Hingga mata kami tak lagi mampu bertahan. Terkadang perutku mau muntah saja melihat tumpukan buku di sudut lemari. Bukan kemauan lagi tapi suatu keharusan. Hal yang wajib untuk dikerjakan.
Dibelakang Asrama putri hanya ditutup rapat dengan pagar. Itupun seadanya. Bukan tembok yang terbuat dari beton. Tidak beratap. Kadang aku merasa tinggal di hutan saja. Karena tepat dibelakang asrama ada sebuah hutan kecil. Tanah gambut bekas orang menanam padi. Tempat biasa teman sekelasku melepaskan sapi-sapinya dan mengikatkan talinya disalah satu tunggul.
Kuistirahatkan otakku yang sedari aku membuka mata belum berhenti bekerja. Kasihan dia. Kututup kedua kelopak mataku. menunggu kumandang adzan maghrib. Suara derap langkah mulai terdengar. Sayup-sayup suara lantunan shalawat nabi. Para santri dikamar lima. Suaranya mendayu merdu. Seperti tenangnya air yang mengalir. Menyirami jiwa-jiwa nan gersang. Duh Rasul. Betapa rindu diri ini tuk berjumpa denganmu. Jiwaku yang kotor ini sudikah Engkau untuk menerimaku sebagai umatmu. Air mataku menetes. Aku berdiri. Berjalan. Membawa tubuhku yang masih sempoyongan.
Di depan pintu kamar, riuhnya suara air keran yang tak berhenti mengalir. Menetes perlahan. Satu-persatu. Antrian panjang. Semua harus bersabar. Ada yang masih duduk ditangga sambil membaca kitab dan ada juga yang asyik mengobrol. Hanya tawa renyahnya yang dapat kudengar.
“Kak ngambil buka yuk?” ajak fadhillah. Aku mengiyakannya dengan anggukan kepala. Bertiga melangkah bersama mengambil semangkuk bubur kacang hijau. Didapur beberapa santri telah antri. Ya…di pondok semua serba antri. Layaknya digedung bioskop saja.
“Aku lemes banget lho…”ucapku lemah sesampai dikamar. Tidak seperti hari biasa. Hari itu fisiku kurang sehat.
“Ngambil air wudhu dulu. Biar lebih seger.” Saran Omi. Aku menuruti sarannya. Dengan penuh kesabaran. Badanku yang semakin gemetaran tak kuat lagi untuk berdiri. Begitu sulitkah untuk mencapai syurga.
Di lorong menuju kamar sebuah barisan santri sehabis mengambil jatah buka puasanya. Wajah mereka tak sekusut wajahku. Aku malu menampakan wajahku. Aku menunduk. Seluruh teman satu angkatan berkumpul berbuka bersama di kamarku. Temanku Halimah. Bacaan Al-Qur’annya paling fashih. Dia memimpin do’a.
Semua larut dalam kekusyu’an. Berbuka bersama dengan makanan seadanya. Semua adalah sahabat dan keluarga. Seusai berbuka kami shalat berjama’ah. Berbaur dengan santri yang lain. Pak kyai menjadi imam. Kalau imamnya beliau tak ada suara. Semua diam. Gak tau khusyuk gak sih shalatnya. Tapi kalau pak kyai gak ada. Hidup ini bagai burung tanpa sangkarnya. Bebas terbang kemanapun yang kita mau. Tapi tetap pada rambu-rambu yang ada.
Dua tahun yang lalu. Saat aku masih di pondok. Dua tahun yang lalu tentu berbeda dengan hari ini. Aku tidak tau seperti apa pondokku kini. Apa kabarnya. Hanya fisik indahnya yang dapat kulihat dari sebrang sungai kapuas yang membentang memisahkanku dengannya. Hanya rasa rindu yang terus menghantuiku.
“Kak ina nangiskah ?“tanya Opal menyadarkanku.
“Gak kok dek…”ku usap airmataku di sudut mata. Kembali aku menatap jari-jari mungil yang menari-nari bebas di Iqra’. Matanya menyipit. Keningnya berkerut. Wajah riangnya saat bermain berubah sekejap dalam keseriusan.
“Kakak capek…” ia memelas. Aku melihat semangatnya untuk belajar membaca Al-Qur’an walaupun usianya masih sangat belia. Setiap hari setelah maghrib ia selalu siap untuk mengaji.
“Ya udah…. Istirahat dulu. Tapi jangan lupa baca wal ashri dulu ya…”pintaku. Ia menganggukkan kepala pertanda setuju. Ia berlari keluar. Masuk kekamar umi.
Kuletakan kembali Iqra’ pada tempatnya. Lantunan suara adzan Isya dari mushala di belakang rumah memanggil mengingatkan seluruh umat manusia untuk berjumpa dengan sang khalik. Saat terindah dalam hidup ini tuk bersua dengan kekasihnya. Ku perbarui wudhuku. Walaupun aku belum batal. Aku akan melaksanakan shalat Isya. Tanpa ibu nyai, Omi, Fadhillah dan teman-teman yang lain. Dan juga tanpa pak kyai sebagai imam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar