Dua Bulan yang Lalu
Udara dingin membangunkanku. Pandangan yang masih kabur menangkap jam weker di atas meja kecil, tepat di sebelah kiri tempat tidur. Pukul 02.50 dini hari. Nyaris aku menarik selimut lagi, tapi aku teringat harus shalat malam. Kelopak mataku berat menatap temaram cahaya lampu. Sesaat aku hanya terdiam di atas spray berwarna biru muda dihiasi bunga-bunga cantik berwarna putih. Hatiku berdzikir perlahan, untuk mengumpulkan ketenangan. Walau sejuk, aku tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. "Ayo shalat, tunggu apa lagi. Semoga Allah menjadikanmu termasuk dalam golongan orang yang beruntung." Hati mendesak, meyakinkan kesadaran. Dengan seluruh kekuatan, aku berperang melawan malas.
Pintu kamar kubuka, dingin udara di luar sana langsung menyerbu. Merinding bulu kudukku. Apalagi air wudhu rasanya sedingin es. Jika tak mengingat surga yang mengalir di dalamnya, yang Engkau janjikan pada umat-umat-Mu tentu aku sudah melengkung dalam selimut itu sambil menikmati mimpi indah. Tapi kehidupan dunia hanya senda gurau, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Empat raka'at shalat sunnah tahajud berhasil kutunaikan dengan khusuk dan keikhlasan. Salam terucap istighfar sebanyak-banyaknya dan tasbih memuji keagungan Asma Alah. Aku hanya makhluk kecil yang berlumuran dosa dan nista. Sudah seharusnya aku memohon ampun kepada Allah. Kuluahkan semua yang ada dalam hati dan fikiran selama ini. Mataku masih tertuju pada dinding kamar berwarna putih. Ada rasa damai terpantul dari sana. Aku mengangkat kedua tangan memohon dan bermunajat kepada-Nya. “Ya Allah, milik-Mu-lah segala pujian, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkaulah yang mengurus langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkaulah yang mengendalikan langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkau Tuhan yang haq dan janji-Mu haq (benar adanya), menjumpai-Mu adalah haq, surga itu haq, para nabi itu haq, Muhammad itu haq, dan kiamat itu haq. Oh Tuhan, kepada-Mu aku menyerahkan diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, karena-Mu aku bertengkar (dengan musuh), dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum. Maka ampunilah aku atas apa yang telah aku lakukan, yang aku rahasiakan maupun yang aku kerjakan dengan terang-terangan, Engkaulah Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau.1) Airmataku mengalir deras membasahi kain putih yang selalu kupakai pada saat aku menemui-Nya. Aku teringat peristiwa dua bulan lalu.
***
Suara dering HP membuyarkan fikiran. Di layar bening di HP-ku tampak nama Rasyid memanggil. Malam ini ia akan datang ke kota ini untuk menyelesaikan tugas akhir S2-nya. Untuk sementara waktu ia tinggal di rumah kontrakan yang sama, dia menyewa kamar di samping bilikku. Kami berkenalan enam bulan lalu, sejak itu kami bersahabat. Walau hanya sebulan sekali bertemu, namun hubungan cukup dekat. Komunikasi selalu terjalin. SMS-an hampir tiap hari. Dia telah menganggapku sebagai adik. Aku sebaliknya. Sekarang setiap hari kami bertemu. Kedatangannya ke kota ini untuk minta bantuanku menyelesaikan tesisnya yang dalam proses penyelesaian. Ditambah lagi jarak kamar yang hanya beberapa langkah saja. Canda dan tawa menghiasi hari-hari saat-saat diskusi.
***
Rembulan semburat. Sinarnya yang mewah melimpah, menyepuh dedaunan hingga bumi terlihat seperti bayangan. Saat pulang, Rasyid tiba-tiba menghentikan sepeda motor dan mematikan mesinnya di tepi jalan. Aku menatap wajah itu dalam keremangan. "Rasyid, kenapa berhenti?" tanyaku sambil turun dari motor. Dia diam. Sorot wajahnya yang tajam membuatku tak berdaya ketika dia meraih tanganku. Aku seperti terserang demam tiba-tiba. Perasaan bercampur aduk membuatku hanya bisa menundukkan kepala. Tubuhku gemetar, jantung berdegup, cemas menyelimuti. Ya Allah.... "Aisha, aku tau agama melarang kita berduaan di tempat sunyi begini. Apalagi kita bukan muhrim." Aku ingin mengatakan sesuatu tapi rahangku seakan terkunci. "Aku ingin kau selalu di sampingku, aku merindukanmu." Oh Tuhan…, aku kehilangan kendali untuk membendung air mata. "Jangan menangis Aisha. Aku mencintaimu, aku menyayangimu Aisha" ungkapnya dengan penuh kesungguhan. Aku lunglai, tersihir! Wajahnya semakin dekat. Tetapi aku bagaikan patung batu, tak bergeming sedikit pun ketika bibir kami bersatu. Aku hampir pingsan saat itu. Aku teringat akan firman-Nya. " Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh satu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." "Tidak. Jangan lakukan itu padaku." Dia pun seperti tersadar dan minta maaf. Aku tak mampu melukiskan perasaan saat itu, aku mengajaknya pulang. Di rumah air mataku tumpah seperti air bah. Tiba-tiba HP-ku berdering. Rasyid menelepon. “Aisha maafkan aku. Aku berjanji tidak akan pernah mengulangi lagi,” ucapnya lemah. Seperti ada sesuatu yang hilang dari suaranya. Aku hanya terdiam sambil menahan suara tangis. “Jangan menangis Aisha. Aku mohon padamu.” “Aku sangat mencintaimu Rasyid, lebih dari semua yang kumiliki. Rasa cinta yang telah mendarah daging dan berakar dalam hatiku. Ia telah menjalar ke seluruh sel dalam tubuhku. Membuangnya sama saja dengan membunuhku. Aku akan binasa.” Aku terdiam sesaat. “Tapi aku sadar, aku tidak akan mungkin memilikimu. Karena dia. Dia yang lebih berhak daripada diriku. Apa dengan ini semua akan menjadikan segalanya lebih baik.” Kumatikan HP tanpa menunggu jawaban darinya. Berulang kali ia mencoba menghubungiku. Setiap hari setelah kejadian itu. Namun aku tidak pernah mengangkatnya. Walau sebenarnya aku sangat merindukannya. Kuputuskan menjauh darinya. Aku harus kembali ke jalan yang benar. Jalan yang di ridhai dan di rahmati Allah. Hingga aku mampu meraih cinta-Nya. Cinta yang sesungguhnya dalam kehidupan ini. Cinta sejati hingga akhir nanti. Walaupun aku harus menelan empedu. Menahan perih sayatan sembilu. Mengorbankan seluruh rasa dalam hati. Rasa rindu dan sayang yang menyiksa. Aku yakin, aku yakin atas segala kekuasaan-Nya dan Janji-janji-Nya.
Udara dingin membangunkanku. Pandangan yang masih kabur menangkap jam weker di atas meja kecil, tepat di sebelah kiri tempat tidur. Pukul 02.50 dini hari. Nyaris aku menarik selimut lagi, tapi aku teringat harus shalat malam. Kelopak mataku berat menatap temaram cahaya lampu. Sesaat aku hanya terdiam di atas spray berwarna biru muda dihiasi bunga-bunga cantik berwarna putih. Hatiku berdzikir perlahan, untuk mengumpulkan ketenangan. Walau sejuk, aku tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. "Ayo shalat, tunggu apa lagi. Semoga Allah menjadikanmu termasuk dalam golongan orang yang beruntung." Hati mendesak, meyakinkan kesadaran. Dengan seluruh kekuatan, aku berperang melawan malas.
Pintu kamar kubuka, dingin udara di luar sana langsung menyerbu. Merinding bulu kudukku. Apalagi air wudhu rasanya sedingin es. Jika tak mengingat surga yang mengalir di dalamnya, yang Engkau janjikan pada umat-umat-Mu tentu aku sudah melengkung dalam selimut itu sambil menikmati mimpi indah. Tapi kehidupan dunia hanya senda gurau, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Empat raka'at shalat sunnah tahajud berhasil kutunaikan dengan khusuk dan keikhlasan. Salam terucap istighfar sebanyak-banyaknya dan tasbih memuji keagungan Asma Alah. Aku hanya makhluk kecil yang berlumuran dosa dan nista. Sudah seharusnya aku memohon ampun kepada Allah. Kuluahkan semua yang ada dalam hati dan fikiran selama ini. Mataku masih tertuju pada dinding kamar berwarna putih. Ada rasa damai terpantul dari sana. Aku mengangkat kedua tangan memohon dan bermunajat kepada-Nya. “Ya Allah, milik-Mu-lah segala pujian, Engkaulah cahaya langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkaulah yang mengurus langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkaulah yang mengendalikan langit dan bumi dan segala yang ada di dalamnya. Engkau Tuhan yang haq dan janji-Mu haq (benar adanya), menjumpai-Mu adalah haq, surga itu haq, para nabi itu haq, Muhammad itu haq, dan kiamat itu haq. Oh Tuhan, kepada-Mu aku menyerahkan diri, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, karena-Mu aku bertengkar (dengan musuh), dan kepada-Mu aku menyerahkan hukum. Maka ampunilah aku atas apa yang telah aku lakukan, yang aku rahasiakan maupun yang aku kerjakan dengan terang-terangan, Engkaulah Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau.1) Airmataku mengalir deras membasahi kain putih yang selalu kupakai pada saat aku menemui-Nya. Aku teringat peristiwa dua bulan lalu.
***
Suara dering HP membuyarkan fikiran. Di layar bening di HP-ku tampak nama Rasyid memanggil. Malam ini ia akan datang ke kota ini untuk menyelesaikan tugas akhir S2-nya. Untuk sementara waktu ia tinggal di rumah kontrakan yang sama, dia menyewa kamar di samping bilikku. Kami berkenalan enam bulan lalu, sejak itu kami bersahabat. Walau hanya sebulan sekali bertemu, namun hubungan cukup dekat. Komunikasi selalu terjalin. SMS-an hampir tiap hari. Dia telah menganggapku sebagai adik. Aku sebaliknya. Sekarang setiap hari kami bertemu. Kedatangannya ke kota ini untuk minta bantuanku menyelesaikan tesisnya yang dalam proses penyelesaian. Ditambah lagi jarak kamar yang hanya beberapa langkah saja. Canda dan tawa menghiasi hari-hari saat-saat diskusi.
***
Rembulan semburat. Sinarnya yang mewah melimpah, menyepuh dedaunan hingga bumi terlihat seperti bayangan. Saat pulang, Rasyid tiba-tiba menghentikan sepeda motor dan mematikan mesinnya di tepi jalan. Aku menatap wajah itu dalam keremangan. "Rasyid, kenapa berhenti?" tanyaku sambil turun dari motor. Dia diam. Sorot wajahnya yang tajam membuatku tak berdaya ketika dia meraih tanganku. Aku seperti terserang demam tiba-tiba. Perasaan bercampur aduk membuatku hanya bisa menundukkan kepala. Tubuhku gemetar, jantung berdegup, cemas menyelimuti. Ya Allah.... "Aisha, aku tau agama melarang kita berduaan di tempat sunyi begini. Apalagi kita bukan muhrim." Aku ingin mengatakan sesuatu tapi rahangku seakan terkunci. "Aku ingin kau selalu di sampingku, aku merindukanmu." Oh Tuhan…, aku kehilangan kendali untuk membendung air mata. "Jangan menangis Aisha. Aku mencintaimu, aku menyayangimu Aisha" ungkapnya dengan penuh kesungguhan. Aku lunglai, tersihir! Wajahnya semakin dekat. Tetapi aku bagaikan patung batu, tak bergeming sedikit pun ketika bibir kami bersatu. Aku hampir pingsan saat itu. Aku teringat akan firman-Nya. " Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh satu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." "Tidak. Jangan lakukan itu padaku." Dia pun seperti tersadar dan minta maaf. Aku tak mampu melukiskan perasaan saat itu, aku mengajaknya pulang. Di rumah air mataku tumpah seperti air bah. Tiba-tiba HP-ku berdering. Rasyid menelepon. “Aisha maafkan aku. Aku berjanji tidak akan pernah mengulangi lagi,” ucapnya lemah. Seperti ada sesuatu yang hilang dari suaranya. Aku hanya terdiam sambil menahan suara tangis. “Jangan menangis Aisha. Aku mohon padamu.” “Aku sangat mencintaimu Rasyid, lebih dari semua yang kumiliki. Rasa cinta yang telah mendarah daging dan berakar dalam hatiku. Ia telah menjalar ke seluruh sel dalam tubuhku. Membuangnya sama saja dengan membunuhku. Aku akan binasa.” Aku terdiam sesaat. “Tapi aku sadar, aku tidak akan mungkin memilikimu. Karena dia. Dia yang lebih berhak daripada diriku. Apa dengan ini semua akan menjadikan segalanya lebih baik.” Kumatikan HP tanpa menunggu jawaban darinya. Berulang kali ia mencoba menghubungiku. Setiap hari setelah kejadian itu. Namun aku tidak pernah mengangkatnya. Walau sebenarnya aku sangat merindukannya. Kuputuskan menjauh darinya. Aku harus kembali ke jalan yang benar. Jalan yang di ridhai dan di rahmati Allah. Hingga aku mampu meraih cinta-Nya. Cinta yang sesungguhnya dalam kehidupan ini. Cinta sejati hingga akhir nanti. Walaupun aku harus menelan empedu. Menahan perih sayatan sembilu. Mengorbankan seluruh rasa dalam hati. Rasa rindu dan sayang yang menyiksa. Aku yakin, aku yakin atas segala kekuasaan-Nya dan Janji-janji-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar