
Senja sore itu menghilang. Langit birupun tertutup awan. Aku mengambil foto senja yang tak secerah biasa. Warnanya yang kuning keemasan terpantulkan oleh biru air laut. Riak air menambah cantik senja. Bukit barisan di seberang laut dan pohon-pohon hijau bagai lukisan. Sebuah kapal berlayar menerobos gelombang lautan. Suara mesin menderu terdengar samar ditelingaku. Sang saka merah putih berkibar di sebuah tiang yang tegak berdiri di atas kapal. Beberapa orang melambaikan tangan kearah kami. Kami membalas lambaian tangan mereka.
Aku sedari datang duduk di sebuah gubug tua sembari menikmati pemandangan pelabuhan kecil yang konon kan dijadikan sebagai pelabuhan lintas Kalimantan berjalan menuju motor air yang berlabuh di pelabuhan.
”Boleh dong minjam pancingnya…” pintaku pada seorang pemuda yang tengah memegang dua tangkai pancing.
“Tentu.” Dia memberikan sebuah pancing untukku.
“Uups… ini umpannya.” Tambahnya dan memberikan sebuah toples berisi tanah hitam dan tentunya ada beberapa cacing yang bersemayam didalamnya.
Kubuka tutup toples. Ku korek tanah hitam mencari keberadaan sang cacing-cacing. Aku yang memang seorang anak desa tak merasa jijik sedikitpun dengan tanah hitam dan cacing yang bergeliat didalam toples. Sayang, cacing-cacing itu tak lagi segar. Bagai hidup segan mati pun tak mau. Sangat lemah, yang mungkin bisa mengurangi nafsu makan ikan-ikan dilaut saat melihat cacing yang melilit pancing aku. Aku pun mulai menusuk mereka dengan pancing yang kan kugunakan untuk memancing. Uuh... kalo aku jadi mereka sungguh mati pasti aku menjerit sakit tak karuan saat aku harus bergelut antara hidup dan mati.

Sambil menunggu ikan yang kan menjadi umpan pancing, aku mendengarkan teman aku bercerita mengenai nasib pelabuhan kecil di desa ini pada masa yang akan datang. Kebetulan dia adalah anak dari ketua forum pembentuk pelabuhan lintas Kalimantan ini. Tentu sangat membutuhkan proses panjang. Karena jalan setapak sejak setahun lalu belum juga berubah. Dikelilingi oleh pohon-pohon nipah dan parit selebar dua meter yang biasa dilewati perahu kecil milik warga desa Masbangun. Jalan setapak juga hanya bisa dilewati kendaraan beroda dua dan pejalan kaki.
Senja yang semula menguning, semakin gelap menuju peraduannya. Nyamuk kecil atau biasa di panggil kremut menyerubut kulitku.
"Mungkin aku orang baru. Jadi rasanya lebih manis dan mereka pada suka" Selorohku pada temanku. Teman dan orang yeng berada di motor tertawa geli melihat tingkahku yang berjungkat-jungkat menahan gatal karena gigitan kremut.
Aku mengulurkan tangan. Mengembalikan pancing yang aku pinjam. " Makasih ya..."
Aku pun turun kemotor bermaksud mencuci jari-jari tanganku.
Uuuh.... Aku memalingkan wajahku dan menyipitkan mata aku. Air laut kok seperti air limbah. Gumam aku dala hati. Dengan berat hati, aku tetap mencuci tanganku. Aku menciumnya. Alhasil, bukannya bersih. Tanganku justru makin bau... Ha...ha...ha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar